70 tahun Pengalaman Pertukaran Internasional
Bangunan ini adalah Perpustakaan Pusat Nasional (National Central Library / NCL), lembaga penyimpanan buku tertinggi di Taiwan yang bertugas menangani pertukaran publikasi internasional ROC sejak 1944. Dalam kurun waktu interaksi global sepanjang tujuh dasawarsa, NCL telah berkolaborasi dengan 606 lembaga dari 87 negara, termasuk perpustakaan nasional dan perguruan tinggi, institusi akademik, organisasi internasional dan pusat sinologi global, untuk memfasilitasi pertukaran dan pengoleksian ragam publikasi.
NCL meluncurkan "Program Bantuan Riset Sinologi bagi Pelajar Asing di Taiwan" pada 1989, dan sejak itu lebih dari 450 profesor dan kandidat doktor dari 44 negara telah berkunjung ke Taiwan untuk mengadakan riset di bawah program tersebut. Selain itu, Kementerian Luar Negeri (MOFA) sejak 2010 telah menugaskan NCL untuk menerima kunjungan 807 cendekiawan dari 74 negara di bawah program "Beasiswa Taiwan".
Dengan pengalaman yang terhimpun dari interaksi global, pada tahun 2011, NCL ditugaskan untuk mendirikan cabang-cabang instansi di luar negeri yang disebut sebagai "Titik Sumber" (Resource Point). Pada saat itu, pemerintah ROC berencana membangun suatu jaringan global "Akademi Taiwan" untuk mempromosikan "Budaya Tionghoa dengan karakter Taiwan."
Meneruskan Obor Budaya
Mengapa harus mendirikan "Akademi Taiwan" atau "Titik Sumber" di luar negeri? Kecenderungan "Ke-barat-an total" pasca Gerakan 4 Mei membawa demokrasi, sains, literatur dan kesenian barat menjadi aliran utama. Akan tetapi sama halnya dengan evolusi biologis, suatu peradaban membutuhkan konvergensi keanekaragaman, inspirasi dari ide baru serta pemeliharaan kehidupan baru, dalam proses adaptasi yang berkelanjutan.
Hal yang sama terjadi terhadap budaya. Sebagaimana diungkapkan oleh pakar sinologi Swedia, Kristofer Schipper: "Kebudayaan mendatangkan perubahan dan perubahan menghasilkan kebudayaan." Pada zaman akhir Dinasti Ming dan awal Dinasti Qing sekitar 200-300 tahun lalu, "Demam Tiongkok" menjalar di Eropa. Misionaris seperti Matteo Ricci dari Italia, Johann Adam Schall von Bell dari Jerman dan Ferdinand Verbiest dari Flandria, tiba di Tiongkok. Karena fasih berbahasa Tionghoa, mereka dengan mudah memasuki pusat kekuasaan imperial dan menjalin hubungan dengan pejabat serta cendekiawan Tiongkok. Para misionaris ini membawa teknologi Barat ke Tiongkok, dan membawa pulang literatur klasik Tiongkok seperti Analek Konfusius dan Tao Te Ching, yang kemudian menyebar luas di antara masyarakat eselon tinggi dan kaum intelek di Eropa.
Baik sinologi maupun “Budaya Tionghoa dengan karakter Taiwan," bukan kekayaan pribadi orang Tionghoa. Sama halnya, budaya Barat adalah pusaka kultural yang dinikmati setiap umat manusia. Interaksi non-stop antara Timur dan Barat menstimulasi inersia pemikiran kaku, dan memfasilitasi kemampuan manusia dalam menghadapi dunia yang berubah pesat. Pada saat peringatan "kecerdasan buatan akan menggantikan manusia dalam waktu dekat" semakin diperhatikan, interaksi tersebut tampak semakin signifikan. Kini adalah masa yang genting dan krusial untuk meninggalkan pendirian picik, berdiri di panggung internasional dan meneruskan "Obor sinologi" di berbagai pelosok dunia.
Keunggulan Kultural Tak Ternilai
Kebutuhan politis pada masa Perang Dingin, khususnya di Amerika Serikat, mendorong lahirnya arus penelitian Tiongkok dalam setengah abad terakhir. Sinologi telah meluas dari hanya difokuskan pada bidang penelitian klasik menjadi riset tentang Tiongkok secara keseluruhan dan penelitian regional. Ditambah dengan pertumbuhan ekonomi pesat di Daratan Tiongkok sepanjang tiga dekade terakhir, membuat sinologi, atau mungkin lebih tepat disebut sebagai penelitian Tiongkok, menjadi suatu penelitian lintas bidang yang populer.
Pada tahun 1980an, para pelaku riset berbondong-bondong menuju Tiongkok yang sedang mempromosikan reformasi dan keterbukaan untuk mempelajari pengalamannya. Dengan demikian, Taiwan yang berperan sebagai pembawa obor budaya tradisional Tiongkok, terancam termaginalisasi.
Meski demikian, di tengah pertukaran budaya Timur dan Barat, Taiwan tetap berperan penting dan memiliki keunggulan tak tergantikan. Hingga kini Taiwan masih menggunakan huruf tradisional, mempreservasi banyak manuskrip kuno dan peninggalan budaya, menikmati lingkungan kondusif dalam kebebasan bersuara dan penerbitan, dan tidak memberlakukan sistem penyensoran; sementara rakyatnya berani menentang pemerintahan yang otoriter. Jika Taiwan tidak menghadirkan aset berharga ini di panggung internasional, maka akan membawa kerugian besar bagi Taiwan, bagi interaksi Timur-Barat dan bahkan bagi perkembangan dunia.
6 Tahun, 31 Pusat Data Informasi Sinologi
Meskipun jumlah Akademi Taiwan tidak bertambah sejak 2011, Direktur Jenderal NCL Tseng Shu-hsien sadar akan kepentingan menghadirkan kontribusi Taiwan dalam bidang sinologi di gelanggang internasional. Sesuai dengan prinsip mempromosikan "Budaya Tionghoa dengan karakter Taiwan" di luar negeri, dan di bawah dukungan dari Kementerian Pendidikan (MOE), NCL memanfaatkan pertukaran penerbitan sebagai fondasi untuk mendirikan mereknya sendiri: "Pusat Data Informasi Penelitian Tionghoa Taiwan” (Taiwan Resource Centers for Chinese Studies/TRCCS).
Sejak memimpin inaugurasi TRCCS pertama di University of Texas at Austin di Amerika Serikat pada 5 November, 2012, Tseng telah membawa koleksi dan basis data penerbitan NCL, mendirikan banyak Pusat Data Informasi di negara-negara Amerika, Asia, Eropa dan Oseania.
Dalam kurun waktu enam tahun upaya giat menghubungi cendekiawan dan kolaborasi dengan diplomat MOFA di berbagai pelosok dunia, para pelopor budaya NCL ini akhirnya berhasil menginaugurasi 31 TRCCS di luar negeri.
Platform Digitalisasi Internasional Buku dan Manuskrip Kuno
NCL tidak hanya telah mendirikan Pusat Data Informasi di luar negeri, tetapi juga telah membangun suatu platform digitalisasi internasional, agar selaras dengan kemajuan inovasi teknologi digitalisasi data. Platform ini berfungsi berbagi katalog NCL dengan institusi sinologi internasional, menawarkan akses untuk buku dan dokumen kuno berharga secara online bagi periset dimanapun berada.
Sejak abad ke-19, buku dan dokumen kuno dalam jumlah besar jatuh ke tangan asing, baik dijarah maupun dijual dengan harga tinggi. Pakar sinologi memperkirakan ada lebih dari tiga juta volume buku kuno Tionghoa yang saat ini berada di luar Tiongkok. Terpencarnya buku dan dokumen ini tidak hanya menimbulkan dampak negatif bagi riset akademik, juga merupakan pukulan keras terhadap kepercayaan bangsa Tionghoa sendiri. Sebagai contoh, penjelajah Inggris, Marc Aurel Stein, pernah menuju Asia Tengah pada 1920an dan 1930an, dan membawa pulang puluhan ribu gulung Manuskrip Dunhuang. Inilah mengapa cendekiawan pertama di dunia yang diakui sebagai pakar Dunhuang adalah cendekiawan Eropa, bukan Tiongkok. Cendekiawan Chen Yinke secara ironis berkata, "Gua Dunhuang terletak di Tiongkok, tapi penelitian Dunhuang berlangsung di luar negeri."
Menurut Tseng, diakuinya NCL sebagai salah satu institusi top dalam pertukaran buku internasional "Berakar pada koleksi buku dan dokumen kuno langka milik NCL." Koleksi ini mengikuti jejak pemerintah ROC dari ibukota di Nanjing ke Chongqing dan Chengdu, yang akhirnya dibawa ke Taiwan, dengan sukses menghindari kerusakan akibat perang. "Para pendahulu di NCL masih merasakan ketegangan saat berbicara tentang bagaimana mereka memobilisasikan buku-buku tersebut," tutur Tang Shen-jung, sekretaris Tseng. “Buku-buku ini dibayar dengan nyawa manusia."
Raih Hak Digitalisasi 80 Perpustakaan Dunia
NCL membentuk kelompok kerja lintas departemen untuk mengawasi perkembangan penyeleksian, katalogisasi, pengumpulan dokumen istimewa, pengembangan sistem digital, kerja sama internasional, dan pengoperasian Pusat Data Informasi serta organisasi lain di bawah manajemen perpustakaan. Buku kuno NCL sendiri adalah koleksi perdana yang didigitalisasi. Pada 2008, NCL berpartisipasi dalam program "Perpustakaan Digital Dunia" (World Digital Library/WDL) dan mengunggah gambar digital sekitar 160 jilid buku langka. Pada 2013, NCL bergabung dengan "Proyek Dunhuang Internasional," mengontribusikan 141 gambar digital teks dan anotasi Dunhuang. Dalam kedua program digitalisasi global ini, NCL adalah satu-satunya institusi dari Taiwan yang ikut serta.
Selain berpartisipasi dalam proyek internasional tersebut, NCL juga telah meraih hak digitalisasi dari 80 perpustakaan manca negara. Hubungan kerja sama tersebut secara efektif memberikan akses pada NCL untuk berbagi katalog gambar digital yang berisi lebih dari 730.000 buku kuno.
Di masa yang tidak terlalu jauh dari saat ini, cendekiawan Qian Mu dalam bukunya "Esai Sejarah dan Budaya" memprediksi bahwa "Suatu bentuk peradaban baru akan lahir……dari interaksi antara kebudayaan Timur dan Barat," akan menjadi kenyataan..