Karena tidak tega menyembelih binatang yang masih hidup untuk dijadikan sebagai bahan sesajen, maka hadirlah peran Pengrajin Adonan Tepung dalam budaya penyajian sesajen untuk upacara sembahyang, yang menggunakan bahan adonan tepung untuk dibentuk menyerupai binatang babi dan ikan yang kerap menjadi bahan sesajen. Seiring dengan pergantian masa, kini adonan juga dibentuk sebagai mainan kecil, binatang atau tokoh kartun. Buruh Migran Indonesia bernama Fidati, selain mempelajari seni budaya tradisional Taiwan, juga berupaya untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Melalui tangannya yang terampil, berpadu dengan upacara pernikahan adat Jawa, alunan gamelan, maka terpenuhilah semua yang biasa diinginkan oleh seorang Pengrajin Adonan Tepung. Dengan melihat ragam warna yang kontras dari hasil karyanya, dapat disebut sebagai hasil benturan budaya yang indah gemerlap bagaikan letupan kembang api.
Hari Minggu di aula Stasiun Kereta Taipei (TMS), atau di beberapa pasar kreativitas budaya Taichung, kerap melihat seorang perempuan berjilbab dengan senyum riang yang selalu melekat di wajahnya, berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, namun tangannya sering terlihat tengah sibuk membuat salah satu jenis keterampilan tangan tradisional Taiwan, keterampilan ini disebut sebagai Pengrajin Adonan Tepung. Ia bernama Fidati, buruh migran asal Indonesia. “Ini adalah pakaian pengantin asal Jawa Tengah, dan sekelilingnya bernuansa saat masih kecil dan naik kerbau melewati sawah untuk pergi ke sekolah”, jelas Fidati kepada pengunjung yang tertarik dengan karya kreativitas adonan tepungnya, dimana sekaligus menjadi tambahan dalam mengenal tentang Indonesia.
Catatan Perantauan Sang Pemudi Ceria
Fidati adalah anak sulung dari sebuah keluarga di Jawa Tengah, yang usai tamat dari SMA langsung mengajukan permohonan untuk diijinkan bekerja di luar negeri, sehingga bisa turut mengurangi beban ekonomi keluarga. Singapura menjadi negara pertama bagi Fidati untuk bekerja, sembari mengasah bahasa Inggris dan mengumpulkan pengalaman kerja selama 1 tahun lebih. Usai pulang kembali ke Indonesia, ia meminta kepada PJTKI agar bisa berkesempatan belajar bahasa Mandarin, merawat pasien dan berbagai hal terkait menjaga dan mengasuh anak kecil. Kali ini ia memilih datang ke Taiwan.
Jika bertanya tentang perihal penyesuaian diri, Fidati hanya tersenyum sembari memberikan alasan, “Nasi putih Taiwan rasanya lebih nikmat”. Jika banyak pekerja asing lainnya yang menemukan kendala dalam hal beribadah, maka Fidati memilih untuk melakukan sholat di tempat yang dirasa tidak akan mengganggu majikan, menggunakan sikap yang optimis dalam menghadapi ragam perbedaan saat merantau di negeri orang.
Sesuai dengan peraturan masa kontrak genap 3 tahun, Fidati membawa pulang semua tabungan hasil kerja kerasnya ke Indonesia. Dan kini tengah memasuki tahun yang ke-5, dan di tengah-tengah masa tersebut ia sempat menikah dan telah memiliki 2 orang anak. Cerita seharusnya ditutup dengan kembali pulang ke kampung halaman dan hidup bahagia selamanya, namun kenyataannya adalah perceraian. Fidati memberikan alasan jika sang suami sangat malas bekerja, uang yang diberikan untuk usaha juga dihabiskan begitu saja. Sekalipun telah memberikan kesempatan berkali-kali, berharap mampu mempertahankan hubungan yang telah terjalin, namun hanya perpisahan menjadi penutup kisah cintanya.
Rekonstruksi Hidup
sebagai Pengrajin Adonan Tepung
Dengan kondisi semua tabungan yang telah dihabiskan oleh suami, dan berharap agar kedua anaknya yang menjadi tanggungannya sendiri bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Fidati dengan berat hati menitipkan kedua anaknya yang baru berusia 2 tahun dan 1 tahun kepada sang ibunda, agar dirinya bisa berjuang di Taiwan. Terlihat mata Fidati memerah dan berkaca-kaca takkala menceritakan tentang perpisahan mereka.
Untuk kedatangan ke Taiwan periode yang ke dua, Fidati bertugas sebagai seorang perawat. Tanpa disadari, tugas perdana dalam rumah sakit memberikan perubahan yang besar bagi perjalanan hidup dirinya di masa depan.
Pasien yang dirawat adalah ibunda dari guru Pengrajin Adonan Tepung terkenal, Yang Ching-jen. Dalam tugas kesehariannya, merawat orang sakit adalah hal yang cukup melelahkan dan membutuhkan waktu yang lama. Yang Ching-jen yang memang sangat peduli dengan isu seputar buruh migran, secara khusus mengundang Fidati untuk dapat mempelajari cara membuat kerajianan melalui adonan tepung, yang juga dimaksudkan untuk mengisi waktu senggang.
Awal mulanya, Fidati menganggap apa yang dilakukan hanya sekedar mengisi waktu senggang dan karya yang dihasilkan juga tidak seindah majikannya. Sempat juga ia merasa kecil hati, namun Yang Ching-jen tetap selalu memberikan semangat yang besar, hingga akhirnya ia mencoba untuk membuat kerajinan tersebut dalam bentuk wujud tokoh Indonesia, dan membuat Fidati menjadi lebih antusias menekuninya.
Awal mulanya warna dasar yang dipergunakan hanya merah, putih, biru, kuning dan hitam. Guna mampu menghasilkan karya khusus untuk kebutuhan penampilan pakaian busana pengantin tradisional, Fidati mempelajari teknik penciptaan warna-warna baru dari Yang Ching-jen. Misalnya warna merah yang dikombinasikan dengan warna putih akan menghasilkan warna merah muda, kemudian jika ingin mendapatkan warna cokelat, maka tinggal menambahkan warna kuning, merah dan hitam. Seiring dengan penciptaan warna-warna baru, maka mampu menghasilkan ragam warna yang dibutuhkan untuk kerajinan adonan tepung tersebut.
Fidati menggabungkan berbagai ingatan yang masih dimilikinya tentang kebudayaan tradisional Indonesia. Dengan cekatan, ia berhasil membuat berbagai bentuk karya seni adonan tepung dalam wujud asing, khas asal luar negeri. Seiring dengan Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan, maka tentu memiliki unsure kebudayaan yang beragam, ini juga turut membuat semangat Fidati tidak pernah pudar dalam menc ari inspirasi yang baru.
Selain kebudayaan Indonesia, Fidati juga tidak lupa terus mengikuti perkembangan dalam kehidupan sosial masyarakat yang tengah berlangsung di Taiwan, misalnya ia melihat kakek dan nenek, anggota keluarga majikan lainnya, maka ia pun mencoba membuat duplikat patung mungil mereka dengan adonan tepung. Fidati mengatakan bahwa ia sangat menyukai membuat duplikat patung adonan tepung, beserta dengan ekpresi yang tercermin dari raut wajah mereka, dimana bagi dirinya ini adalah sebuah tantangan baru.
Gemar Berbagi, Membentuk Harapan
Seiring dengan kegemarannya dalam membuat kerajinan adonan tepung, Fidati juga kerap menerima pesanan dari teman-teman, sekaligus mengajarkan mereka membuat kerajinan tersebut. Fidati menjelaskan bahwa sekalipun di Indonesia juga memiliki kerajinan serupa, namun kualitas yang dihasilkan tidak seindah yang dapat dihasilkan di Taiwan. Kerajinan adonan tepung di Taiwan, selain berukuran mungil, juga dapat disimpan lama. Dengan memasukkan kebudayaan Indonesia, maka turut serta berhasil mendapatkan perhatian dari para wisatawan. Jika hal tersebut terus dilanjutkan, maka tentu dapat turut merubah nasib para pekerja yang merantau ke negri orang.
Untuk itu, Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI), Taman Asean Taichung, Pasar Budaya Kreatif, juga kerap ditemukan hasil karya Fidati. Bahkan saat liburan kembali ke Indonesia, Fidati juga sempat mengajarkan kerajinan tersebut di sekolah taman kanak-kanak setempat.
Saat hari libur, Fidati juga sering membawa perlengkapannya ke Stasiun Kereta Taipei untuk mengajarkan kerajinan tersebut secara gratis. Terkadang terdapat turis yang singgah dan tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Fidati. Melalui ketekunannya, buah karya yang kecil mungil tersebut, mampu menjalin sebuah tali silahturahmi kebudayaan antar negara.
Pada bulan April tahun ini, berkat bantuan dari beberapa teman Taiwan, Fidati berhasil menyelenggarakan sebuah pameran yang bertajuk “Karya Jemari yang Indah” di Taichung. Karya yang menampilkan ragam warna ciri khas kebudayaan busana pengantin tradisional Indonesia, alat musik gamelan dan lain sebagainya. Selain pameran, pada bulan Agustus silam, Fidati mendapat undangan dari Pemda Taichung untuk turut serta meramaikan kegiatan stan Indonesia dalam pameran berkenaan dengan Asia Tenggara. Ia juga menampilkan ragam budaya busana pengantin, alat musik, gerai makanan dan lain sebagainya. Semua hal tersebut memberikan nuansa kebudayaan asing yang sangat artistik, sehingga mampu turut memperkenalkan kebudayaan Indonesia bagi masyarakat Taiwan.
Apa yang dilakukan oleh Fidati bagi sesama perantauan Indonesia, telah menjadikan dirinya laksana seorang guru bagi sesama pekerja asing. Di mata Yang Ching-jen, Fidati adalah sosok yang tekun dan rajin, ia juga mampu menghasilkan buah karya yang menawan hati. Ke depannya, ia juga akan melanjuti impian dengan mengikuti beragam perlombaan, khususnya dalam menyanyi serta mempromosikan kebudayaan membuat kerajinan duplikat patung kecil dari adonan tepung. Ia berharap melalui hal ini, maka ia mampu turut memberikan sedikit sumbangsih bagi banyak orang. Dari kerajinannya, dapat kita lihat sebuah impian tak berbatas yang tersirat dari hasil karyanya.