Ilusi di Ujung Lidah: Spesialisasi Non-Vegetarian
Gorou Fine Japanese Cuisine memulai bisnisnya pada bulan Maret 2020, saat epidemi tengah mencapai masa puncak. Jumlah pengunjung di banyak restoran Taiwan pun berkurang menjadi 30% hingga 50%. Awalnya mereka berharap dengan sikap, asalkan ada 1 pelanggan datang maka mereka akan mempromosikan 1 menu makanan nabati, dan akan terus beroperasi hingga mereka tidak tahan lagi. Karena ingin mematahkan imajinasi para penikmat kuliner terhadap sajian nabati, saat ini reservasi pada akhir pekan dan hari libur harus dilakukan 4 pekan sebelumnya.
Saat berada di Gorou Fine Japanese Cuisine, para pelanggan tidak hanya merasakan kehangatan warga Kaohsiung, melainkan para koki yang berada di depan meja dengan penuh semangat memberikan penjelasan menu makanan. Melalui interaksi yang hangat, terciptalah suasana bagai di guest house pribadi. Ide untuk membuka restoran vegetarian ini dicetuskan oleh Hu Tsai-pin, seorang koki dengan pengalaman bekerja di restoran Jepang selama 27 tahun.
“Kami sangat akrab dengan cita rasa dan tekstur makanan laut. Kami pun dapat menghidangkan yang terbaik untuk makanan laut Jepang, yakni dengan menggunakan bahan nabati untuk meniru tekstur makanan laut, serta penampilan dan rasanya. Mengubah sushi ikan marlin dan scallop panggang menjadi makanan nabati.” Scallop sebagai contoh, tim Hu Tsai-pin menemukan bahwa jamur pleurotus eryngii memiliki rasa yang serupa dengan scallop. Melalui teknik khusus untuk memberikan cita rasa makanan laut, setelah dimakan rasanya pun seperti scallop. Ia mengatakan, “Scallop memiliki serat. 3 cm jamur pleurotus eryngii harus dipotong 40 kali pada setiap sisi, dipotong dengan kedalaman 30%, total 120 kali. 50 scallop harus dipotong sebanyak 6.000 kali. Ini adalah pekerjaan memotong yang cukup menyiksa, dengan harapan untuk menciptakan tekstur halus dari scallop.”
Bagaimana memberikan cita rasa makanan laut? Hu Tsai-pin mencari banyak informasi dan terinspirasi dari sup miso para karyawan yang dibuat oleh koki seadanya tanpa dibumbui kaldu ikan. Sayur-mayur seperti terong dan paprika direndam serta direbus di dalam kuah kaldu bersama dengan kecambah rumput laut Jepang. Sehingga bau jamur akan berkurang, dan mampu menghadirkan rasa seperti makanan laut. Dengan demikian, sushi tiruan belut conger, tuna dan ikan marlin berhasil dihidangkan.
Selain itu, masih ada ragam inovasi rasa yang tercipta berkat kecerdikan sang juru masak, misalnya tuna dikombinasikan dengan salad alpukat, dan lemak alpukat dapat melengkapi kekurangan paprika merah. Masih ada ikan marlin yang dipanggang untuk memperkuat aroma paprika kuning. Scallop yang digoreng disandingkan dengan daun kemangi untuk melarutkan minyak scallop, lalu digunakan bubuk truffle pada sentuhan akhir. Aroma makanan laut pun ditambahkan untuk melengkapi kurangnya aroma panggang dari tumbuh-tumbuhan.
20% hingga 30% pelanggan adalah penyantap daging, kebanyakan dari mereka datang untuk menemani kerabat yang memang seorang vegetarian. “Terkadang penyantap daging mengerutkan kening dan terlihat enggan, begitu memasuki pintu restoran. Namun, setelah menyantap satu per satu hidangan yang ada, mereka pun terpana dan tersenyum. Dengan demikian saya tahu bahwa saya berhasil meluluhkan hati mereka!” Melalui satu hidangan makanan, Hu Tsai-pin mengubah sikap seseorang terhadap makanan vegetarian. Bagi seorang koki berpengalaman, ini adalah pencapaian besar dalam hidup.
Dirinya akan terus mempromosikan makanan nabati. Mengingat bulu babi dan scallop vegetarian juga bisa ditampilkan dalam masakan Jepang, Prancis atau Italia menjadi Beyond Meat versi makanan laut Taiwan.
Melalui interaksi hangat antara juru masak Gorou Fine Japanese Cuisine dengan para pelanggan, terciptalah suasana bagai di guest house pribadi.