Hari itu, saat datang ke Pingxi, kota New Taipei, hujan gerimis turun dari langit. Dari 29 wilayah di kota New Taipei, Pingxi terkenal sebagai tempat yang sering turun hujan. Setiap tahunnya sekitar 200 hari turun hujan, gunung hijau nan subur di tengah kabut hujan yang semakin menampilkan keindahan pemandangan yang menakjubkan.
Pada jaman nenek moyang dulu, kota New Taipei dihuni oleh suku aborigin Plains Ketagalan. Di masa ekspansi, orang Spanyol dan Belanda berdatangan mendirikan benteng, dan muncullah beragam kawasan petani, buruh dan perdagangan, yang membentuk lapisan budaya. Oleh karena itu pula kota New Taipei menjadi tempat dengan beragam jalan tua, bahkan pada masa itu jalan pertambangan Jiufen, Pingxi dan Shifen sempat berjaya; kemakmuran bisnis Jinbaoli (Jalan Tua Jinshan); dengan teh dan bahan perwarna yang terkenal di Jalan Tua Shengkeng dan Shiding; Jalan Shueibanjiao (Jalan Tua Xizhi) sebagai stasiun transit kargo sungai Keelung; KlinLinli (klin adalah tempat ruang termal terisolasi/ oven), jalan tua seni keramik Yingko; dengan sederetan bangunan gaya Barok di Sanjiaoyong (Jalan Tua Sansia); dan keramaian Jalan Tua Tamshui yang memadukan budaya serta kuliner.
Dengan terkenalnya “Lentera Langit Utara, Petasan Selatan” di Pingxi, maka dimulai sejak tahun 1999 digelar “Festival Lentera Internasional Pingxi” yang pertama. Kemudian BBC dalam kegiatan pergantian tahun millennium melepaskan lentera besar berukuran 18,9 meter yang memecahkan rekor terbesar dalam Guinness Book of World Records dan berhasil menarik 1,6 milyar pemirsa untuk menyaksikannya. Terobosan ini tidak saja menarik perhatian tetapi juga mengintegrasikan tradisi baru dan lama, berhasil mengangkat festival melepaskan lentera langit menjadi festifal penting di Taiwan yang juga mendatangkan peluang masa depan.
Lentera Langit Pingxi Terbang ke Dunia Internasional
Tahun 2010, lentera langit terpilih sebagai rupa Taiwan dalam “Shanghai Word Expo” dan media menyebutnya sebagai “Salah Satu dari 52 Hal yang Harus Dilakukan Selama 52 Pekan Dalam Setahun”, “15 Festival Dunia yang Harus Diikuti Sebelum Meninggal Dunia”. Layaknya sepasang anak kembar, lentera langit dan Pingxi tidak dapat terpisahkan. Lentera langit Pingxi bermula dari masa Dinasti Qing. Pada waktu itu sering kali mendapat serangan dari penjahat, sehingga penduduk setempat terpaksa harus melarikan diri ke pegunungan. Setelah penjahat pergi, warga setempat yang masih tinggal sengaja melepaskan lentera ke langit untuk memberitahukan pada sanak keluarga yang bersembunyi kalau keadaan sudah aman dan mereka dapat pulang kembali. Kemudian kegiatan melepaskan lentera ke langit menjadi kegiatan yang dilakukan pada setiap perayaan Cap Go Meh, yang memiliki makna doa permohonan agar diberikan perdamaian dan mendapatkan anak laki-laki.
Ratusan tahun yang lalu, sebagian besar penduduk menanam tumbuh-tumbuhan hijau dan teh, hingga pada tahun 1908 ditemukan adanya tambang batubara. Perusahaan pertambangan “TaiYang” pada tahun 1921 mengucurkan dana besar guna membangun jalur rel kereta (sekarang jalur Pingxi) untuk mengangkut tambang batubara. Adanya emas hitam ini, Pingxi yang terpencil menjadi makmur, bahkan juga menghidupkan Shifenliao dan Jingtongkeng yang berada disekitarnya. Kehidupan 80% penduduk di wilayah ini bergantung pada tambang batubara. Kemakmuran berlangsung selama hampir 50 tahun, hingga tahun 1970-an, sumber tambang menipis, timbullah bencana tambang. Penambangan batubara dihentikan, penduduk pun emigrasi keluar, bagaikan mimpi indah yang buyar, begitu terbangun tidak menyadari lagi siapa dirinya.
Kemerosotan usaha pertambangan merupakan pernyataan yang kejam bagi penduduk setempat. Sama artinya dengan memutuskan mata pencarian hidup mereka. Ketua Asosiasi Pemandu Wisata Pingxi, Wang Rui-yu mengatakan, “Pingxi sama sekali tidak ada industri, sehingga kesempatan kerja hampir tidak ada.” Penduduk muda mengalir keluar secara besar-besaran, ke kota mencari nafkah, sehingga hanya kaum tua yang tertinggal, masalah penduduk tua menjadi sangat parah. Usia rata-rata penduduk Pingxi pada tahun 2015 melebihi 50 tahun, berada jauh di atas rata-rata usia penduduk Taiwan yang hanya 37 tahun. Tidak mengherankan kalau Ketua Asosiasi Bisnis Kawasan Pingxi Wang Zhao pernah bergurau, “Dalam kereta api jalur Pingxi hanya ada 3 orang, yang satu adalah masinis, satunya lagi kondektur, yang lainnya adalah orang yang salah naik kereta.”
Budaya Perkeretaapian Kota Pegunungan Hidup Kembali
Seperti sekarang dalam kereta api jalur Pingxi, di sebelah kanan saya ada orang Korea, sebelah kiri orang Hongkong, di hadapan sepasang suami istri dari Singapura, sesampai di peron Shifen masih bertemu dengan seorang nenek berasal dari Jepang, sepertinya lebih go internasional dibandingkan kota Taipei. Saat ditanyakan tujuan mereka, 8 dari 10 wisatawan manca negara ini datang untuk melepaskan lentera langit. Namun bergantung pada lentera langit saja tentu tidak cukup, hanya bergantung pada hari-hari selama festival saja, sementara hari lainnya harus makan apa. Untungnya Pingxi masih memiliki jalur kereta batubara. Rupanya bagaikan sebuah jalur jalan tua, juga seperti sebuah pelangi dalam pegunungan. Wang Rui-yu mengatakan, “Jalur Pingxi layaknya sebuah museum yang hidup, sepanjang jalan ada karang berlubang, air terjun, tambang, lentera, gunung dan lainnya...beragam pemandangan menarik!
Jalur Pingxi yang dimulai dari Rueifang, sebenarnya merupakan jalur yang sudah ingin ditiadakan. Berkat perjuangan keras dari berbagai pihak, akhirnya jalur ini berhasil dipertahankan. Berada persimpangan stasiun Sandiaoling dan jalur Yilan, menelusuri jembatan besi Yufu yang sarat sejarah menarik, gemericik suara air sungai hijau bagaikan jamrud, melalui keajaiban geologi karang berlubang, barisan-barisan rumah Jalan Tua Shifen, derit suara roda bagaikan di saat bersamaan mengunjungi tetangga lama. Suasana kehidupan yang begitu kental di Jalan Tua Shifen, dulu sepanjang pinggiran rel kereta terlihat orang yang sedang mengupas rebung, mencuci sayur dan buah-buahan, menjual bihun dan mie kuah…., sekarang menjadi banyak toko yang menjual lentera. Wisatawan berdiri di atas rel kereta untuk melepaskan lentera langit, setiap kali kereta datang, mereka menghindar bagaikan anak-anak ayam lari bersembunyi dari serangan sang burung elang. Pemandangan seperti ini sudah menjadi pemandangan yang biasa terlihat di sini dan Dinas Perkeretaapian hanya dapat memejamkan sebelah mata, melihat dengan keringat dingin, namun ini juga merupakan keajaiban dari pariwisata.
Setelah kereta api melalui peron stasiun Lingjiao, kemudian tiba di kota Pingxi. Sebuah iklan terkenal menggunakan lokasi ini sebagai latar belakangnya, “Chang Jun-ya, mie instannya sudah selesai dimasak lho! Nenek kasih kamu waktu 1 menit untuk segera pulang..makan….!” Lalu dalam iklan tersebut muncul seorang anak yang gempal berambut seperti potongan buah semangka, berlari pontang panting di jalan Shiban, melewati toko serba ada, toko besi, toko peralatan pertanian, toko kue, klinik tua, toko kembang tahu dan toko obat tradisional Tiongkok, pemandangan yang sangat akrab, seperti yang terlihat di depan mana. Berjalan lebih jauh lagi, akan melewati jembatan besi gantung, salon, kantor pos dan Sekolah Dasar Pingxi atau bisa pula belok ke sisi lain, menuju jalan Shidi. Di sini anda bisa mencicipi Yuyuan (onde yang terbuat dari talas), sungai gunung Keelung yang panjang, ada yang sedang memancing di jembatan Shidi, anak-anak yang berkejarkejaran sambil tertawa riang, sepertinya waktu seseorang terpaku dalam alam lembah yang ada.
Jalur rel tua ini berakhir di stasiun Jingtong, yang masih mempertahankan bangunan stasiun kereta kayu ala Jepang yang dibangun sejak tahun 1929. Jalan Tua Jingtong bersebelahan dengan Taman Peringatan Tambang Batubara, arkeologi tambang batubara, asrama ala Jepang dan lubang besar di bawah batu, berjarak seratus meter darinya terdapat sebuah bangunan ala Jepang “Thai Tze Bing Guan”, pada mulanya semua ini untuk memenuhi kebutuhan saat itu, tetapi sekarang telah menjadi aset budaya yang paling berharga.
Semangat Dalam Wisata Jalan Tua
Wang Zhao telah bertahun-tahun berkecimpung dalam riset lapangan dan pemandu wisata Ia beranggapan, asalkan “warga setempat peduli dengan masalah di tempat itu” barulah dapat menghidupkan pelayanan setempat; dengan semangat membangun komunitas, membangkitkan perhatian dan partisipasi, baru dapat benar-benar mengatasi masalah. Dahulu banyak orang beranggapan kalau lentera langit membuat polusi lingkungan, bahkan menimbulkan kebakaran hutan. Saat ini cara penyelesaiannya juga melalui kesadaran penduduk untuk daur ulang dan pemberian hadiah dari pemerintah setempat, meningkatkan inspirasi penduduk turut melakukan pembersihan. Semua ini harus bergantung pada partisipasi penduduk setempat dengan demikian baru bisa untuk jangka panjang, mengeluarkan banyak dana mengundang orang asing untuk mengerjakan, ini hanya sementara waktu saja. Ia menegaskan, banyak wisatawan yang datang tidak selalu berarti baik. Penduduk setempat belum tentu mengharapkan banyak orang, apalagi saat ini infrastruktur publik yang belum memadai, tidak ingin melihat terjadinya komersialisasi, spekulasi sewa tempat atau spekulasi jangka pendek dari orang asing. Ia mengatakan, “Jika Pingxi sama seperti Jiufen, bukankah ini menjadi awal dari mimpi buruk!”
Wisatawan asing dengan bersemangat menuliskan harapannya di lentera langit, kemudian perlahan melepaskan ke langit. Mungkin hal ini karena pengaruh iklan, daya tarik sinetron. Namun itu hanya karena ketertarikkan sesaat saja, penduduk berharap tidak hanya sebatas itu saja, dapat dilakukan lebih kreatif, sehingga para wisatawan juga dapat memahami sejarah dan budaya. Ketika diwawancarai, telepon terus berdering, banyak wisatawan menelpon untuk mencari informasi, atau mungkin karena ia juga ingin lebih memahami keinginan mereka. Mereka juga sama, dengan berbagai upaya untuk memuaskan keinginan orang. Seperti saat Wang Zhao berdiskusi dengan anaknya, menggali ingatannya, berharap dapat memanfaatkan alarm peringatan yang dulu, agar wisatawan dengan cara yang menyenangan menstimulasikan pengalaman bagaimana bersembunyi, apabila di kemudian hari dapat terwujud, ini akan menjadi kegiatan baru “Lonceng Perdamaian”.
Ini semua bukan omong kosong belaka, melainkan tugas sehari-hari yang mereka lakukan, disinilah kehidupan mereka. Setiap tempat ada gelap ada terang, ada peningkatan ada penurunan, warga Pingxi sangat mendalam merasakannya, mereka telah menerobos api, telah melangkah keluar dari air, dan akhirnya mencapai gunung perdamaian. Yang ditinggalkan juga dapat memahami, hanya dengan mencintai, menghargai tanah ini, baru dapat dapat tinggal dengan tenang dalam waktu panjang. Jika benar-benar mengalaminya sendiri maka lama kelamaan dapat dengan tulus mencurahkan dalam perbuatannya.